Normal-kah Kita?
(Sebuah Catatan dari Darmawan Sigit, The School Master of Sekolah Strategi Indonesia)
Film mengajarkan kita banyak hal dengan cara yang sangat
menyenangkan. Apalagi Spongebob Squarepants. Salah satu episode
Spongebob favorit saya adalah Not Normal.
“Pada awalnya kita menentukan cara berpikir kita, setelah terbiasa, cara berpikir itu yang menentukan kita”
Sebagai komunitas, setiap mahasiswa di STAN memiliki cara berpikir
khas yang hampir sama. Cara berpikir itu mencakup cara melihat,
menafsirkan, dan memaknai sesuatu. Atas penafsiran tersebut, kita
menyikapi (lalu bertindak) sesuatu. Bagaimana kita beraktivitas,
berteman, berorganisasi, atau menghadapi persoalan, sedikit banyak
membuktikan adanya kekhasan cara berpikir itu.
Sebagai contoh, lihat cara berorganisasi kita. Lihat proker di setiap
elkam. Dari tahun ke tahun, hampir sama. Ada yang ngaku, tinggal copy,
paste, lalu edit dikit. Proses ini lumayan mendominasi. Padahal hampir
setiap ketua elkam punya visi misi yang puitis. Pertanyaannya, visi misi
setiap tahun hampir pasti berbeda, tapi kenapa programnya bisa sama?
Contoh lain cara pandang kita terhadap iuran mahasiswa. Duit ini
menjadi rebutan. Ada yang bertengkar, ngributin alokasi, memoles item
iuran, dll. Tapi tetap saja, banyak kegiatan yang defisit, pun
pesertanya sedikit. Itu kenapa pas debat calon presma kemaren, saya
menanyakan, “Berani nggak meniadakan iuran mahasiswa?”. Tentu saja nggak
ada yang berani.
Kegiatan yang relatif mendatangkan laba, paling try out USM yang
dilakukan oleh organda. Lalu, kalau elkam menghadapi persoalan
kekurangan dana, apa idenya? Betul, bikin try out seperti organda.
Kreatif ya?
Itu sedikit contoh. Tengoklah kebiasaan2 lainnya. Tentir, kisi2,
makrab, pulang kampung, pola kalimat jarkom, susunan acara, Daftar ketik
Reg, dll.
Cara berpikir itu tidak benar dan tidak salah. Ini bukan kitab suci. Hanya, cara berpikir itu memberdayakan kita atau tidak.
Saat menjadi ketua BLM, ada ketua salah satu elkam, berkonsultasi.
Elkamnya mau ngundang artis yang tarifnya puluhan juta, tapi elkam itu
gak punya duit, gak dapet sponsor. Lalu saya ajak dia berpikir untuk
nyari solusinya. Lobi ke artisnya, ganti artis, ganti acara, dll. Tapi
si ketua ini kekeuh pengin artis itu. Yah kalau tujuannya itu ya monggo,
kata saya, tapi jangan minta saya ngasih pinjaman dana mahasiswa.
Akhirnya artis itu tetap datang, penonton di bawah target, acara
defisit, utang sana-sini, lalu datang memelas kepada saya: minta
pinjaman dana mahasiswa!
Itu contoh salah satu cara berpikir yang tidak memberdayakan.
Kita hidup mengutamakan stabilitas dan pencapaian yang standar2 saja.
Spongebob menyebutnya manusia normal. Hidup kita seakan mengikuti
instruksi baku: kuliah, belajar, ngerjain tugas, ujian, antri di warteg,
sambil takut DO. Tantangannya juga relatif baku (dan kecil): paling2
dosen yang aneh, temen nggak mau ikut makrab, atau kuliah di hari Sabtu.
Setelah lulus, mimpinya juga baku: penempatan Jawa atau kampung halaman
(kita belajar Budaya Nusantara, bikin HOE, tapi berbela sungkawa ketika
ditempatkan di Papua), rajin ke kantor, bekerja tidak lebih dari job
description, rajin menabung, nyicil rumah, jualan kecil2an daripada
korupsi, lalu pensiun sambil bernostalgia, bahwa ternyata kita tidak
melakukan apa2. Kenapa pas pensiun gak bikin try out yah?
Coba saja saat stabilitas itu bergoyang. Contoh, diajak bikin visi KM
STAN, dikira ngajak berantem. Media Center jangan cuma satu, tapi
banyak biar kaya sudut pandang, nggak mau. PMK berapa tuh yang tentang
tes CPNS bagi lulusan STAN, langsung jadi polemik. Tidak menerima D3,
jadi polemik, tiba2 jadi melankolik ke adik kelas: kita kehilangan satu
generasi. Padahal saat ada isu adik kelas akan terima honor yang lebih
gede, kita juga nggak terima.
Ada yang bilang, mau gimana lagi, kita memang tumbuh dalam sistem
seperti itu. Kita dibentuk untuk menjadi buruh, alih-alih pemimpin. Saat
mahasiswa seumuran kita di tempat lain asyik bikin program, kita malah
hanya diinstruksikan untuk mengoperasikan program. Yang lain mendesain
peraturan, kita menghafal yang sudah ada. Yang lain belajar berinovasi,
kita belajar mencintai status quo.
Kalau sistem sudah begini, lalu harus bagaimana? Makanya belajar bikin sistem, jangan mengikutinya saja. Hehe.
Paling mudah memang membebankan sesuatu ke pihak eksternal. Makanya
kita suka berangan-angan, nasib bangsa kita yang sedemikian buruk ini,
adalah korban konspirasi pihak asing. Nasib kita jelek, orang lain yang
disalahkan. Kita tidak bermutu, sistem pendidikan yang disalahkan. Lalu
kita hanya bisa mengutuk keadaan, nggak punya ide solutif. Ini juga
salah satu cara berpikir yang tidak memberdayakan.
Di saat kita menggunakan cara berpikir yang tidak memberdayakan, plus
hidup dengan standar rata2, kita hampir nggak ke mana2. Kita geram
melihat korupsi, birokrasi yang tidak efektif, tapi nggak bisa ngapa2in.
Lalu kita bersilat lidah, yang penting seperti ikan, tetap tawar di
laut yang asin. Tapi ikan itu tidak
berdaya. Sebanyak apapun ikan, dia tidak akan mampu mengubah rasa air
laut. Jumlah kita banyak, tapi tidak berdaya. Tidak punya ide, apalagi
menyampaikan, lalu membuktikan ide tersebut (berinovasi), untuk mengubah
keadaan.
Mau cara berpikir yang memberdayakan?
Untuk itulah proyek ini diselenggarakan.
No comments:
Post a Comment